Konsep kebenaran telah memainkan peran sentral dalam sebagian

Kebenaran ilmiah, kebenaran yang ditandai terpenuhinya syarat-syarat ilmiah yang divaliditasi oleh bukti empiris, hasil pengukuran objektif sesuai dengan data dan fakta.
Kebenaran pengetahuan mutlak, kebenaran yang tidak berubah dan ada pada hakikat dirinya sendiri.
Kebenaran relatif, kebenaran yang berubah-ubah, tidak tettap, dan dapat dipengaruhi hal lain di luar hakikat dirinya.[7]
Teori-teori Kebenaran
Konsep kebenaran telah memainkan peran sentral dalam sebagian besar tradisi filsafat. Apa pun kepentingan utama para filsuf, mereka tidak dapat mengabaikan kebenaran. Gagasan tentang kebenaran muncul dengan cepat dan menghasilkan karya slot online teoritis.[8] Pada kenyataannya, menentukan masalah kebenaran bukanlah hal yang mudah. Masalah tersebut telah memunculkan beberapa teori tentang kebenaran yang sangat beraneka ragam sebagai berikut.

Teori Korespondensi
Argumen utama yang diberikan pendukung teori kebenaran korespondensi adalah kejelasannya. Menurut René Descartes, “Saya tidak pernah memiliki keraguan tentang kebenaran, karena tampaknya gagasan yang sangat jelas secara transendental sehingga tidak ada yang bisa mengabaikannya … kata ‘kebenaran’ dalam arti sempit menunjukkan kesesuaian pikiran dengan objeknya”. Bahkan Immanuel Kant cenderung menyetujui, “Definisi nominal kebenaran, bahwa itu adalah kesepakatan dengan objeknya, sebagai apa yang diberikan.”[9]

Pernyataan adalah benar jika isinya sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran terdiri dari kesesuaian pikiran dengan kenyataan. Suatu keyakinan dapat disebut benar jika sesuai dengan fakta atau keyakinan yang benar adalah jika ide yang terkandung sesuai dengan objek sebagaimana kenyataannya. Pandangan ini tidak hana banyak dianut oleh para filsuf tetapi mirip dengan penggunaan aka sehat yang berbicara tentang keebenaran. Permasalahan muncul ketika ditanyakan tentang apa yang dimaksud dengan kesesuaian ide dan objek, keyakinan dan fakta, serta pikiran dan kenyataan.[10]

Teori korespondensi umumnya beranggapan bahwa terdapat proposisi yang memiliki sifat kebenaran. Kebenaran bertumpu pada beberapa rangkaian hubungan bahasa-dunia yang perlu dijabarkan, dimulai dengan fakta bahwa, misalnya, “Salju itu putih” memiliki sifat kebenaran dan memilikinya sebab pada kenyataannya salju berwarna putih.[11]

Teori korespondensi berlawanan dengan teori koherensi dan pragmatis, beranggapan bahwakebenaran tidak ada hubungannya dengan pembenaran atau penerimaan tetapi sebaliknya bergantung pada hubungan non-epistemik dengan dunia. Argumen ini menghubungkan teori korespondensi dengan realisme: kebenaran tergantung pada cara dunia bukan pada cara berpikir.[12]